Surya Al-Agusdi Muhammad
KIPRAH, PERJUANGAN, DAN PENGABDIAN TGH. M. MUTAWALLI
A. KIPRAH DI BIDANG PENDIDIKAN
- Membuka Majlis Taklim
Tuan Guru Haji Muhammad Mutawalli, setelah sekian tahun menuntut ilmu di tanah suci Makkah al-Mukarramah, kembali ke kampung halamannya di Indonesia untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan agama dan mendorong serta membantu tatanan moralitas dan akhlak mulia (al-ahklak al-karimah) di kalangan masyarakat Muslim pada khususnya, dan masyarakat secara umum.
Tradisi Tuan Guru, khususnya di Pulau Lombok sepulang dari pengembaraannya menuntut ilmu, adalah membentuk pengajian-pengajian kecil di tempat tinggalnya dengan sistem khalaqoh (duduk bersila). Di sini, Tuan Guru dan santri mengaji di hadapan beliau dengan materi-materi pengajian yang paling mendasar, mulai dari materi tauhid dengan membuka kitab Arab Melayu seperti Masailah al-Muhtady, Perukunan, dan lain sebagainya. Hal ini dimaksudkan untuk mempertebal keyakinan masyarakat akan hakikat Allah SWT sebagai pencipta alam semesta. Mengingat kondisi masyarakat saat itu yang sangat rentan dengan apa yang disebut TBC (Takhayul, Bid'ah, dan Churafat), maka tidak mengherankan jika masyarakat terpolarisasi dengan paham-paham Hinduisme.
TGH. Muhammad Mutawalli, sebagai seorang tokoh agama dan tokoh masyarakat, sangat terpanggil untuk menyelamatkan akidah dan keyakinan masyarakat Sasak dari keyakinan-keyakinan yang sesat dan membawa kemusyrikan. Maka dari situlah TGH. Muhammad Mutawalli mulai membuka Majlis Taklim untuk masyarakat umum.
Sebenarnya, aktivitas dakwah beliau telah dimulai semenjak beliau masih menjadi santri di Ponpes Selaparang Kediri Lombok di bawah asuhan TGH. L. Abdul Hafidz Sulaiman sekitar tahun 1937-an. Namun, aktivitas pengajian umum beliau tidak berjalan lancar karena terikat dengan kegiatan belajar di hadapan TGH. L. Abdul Hafidz, dan eksistensinya dalam menyebarluaskan syiar dan ajaran Islam baru terjadi setelah beliau pulang dari Tanah Suci Makkah pada tahun 1947.
Aktivitas dakwah beliau dengan sistem Majlis Taklim/duduk bersila (Khalakoh) pertama kali dirintis di Keramat Direk Jerowaru, tempat tinggal TGH. Muhammad Mutawalli bersama keluarga. Penamaan Keramat Direk sangat relevan dengan nilai filosofis Keramat Direk. Beberapa versi tentang penamaan Keramat Direk antara lain:
- Versi TGH. M. Sibawaihi Mutawalli, Ust. Ratmaji, dan Ust. H. Jamil Saefudin menyebut bahwa Keramat Direk berasal dari bahasa Sasak "Keremak Dirik" yang berarti memperbaiki diri dari segala hal yang merusak iman dan taqwa serta akhlak mulia.
- Versi mamiq hafizd (L. Sinerep) menyebut bahwa Keramat Direk adalah tempat keramat, di mana dimakamkan seorang tokoh penyebar Islam dari desa Jerowaru yang terkenal dengan nama marga Al-Idrus. Bukti adanya marga Arab Al-Idrus sebagai keturunan Nabi Muhammad dari Husaini dapat dilihat dari pertalian hubungan keluarga dengan masyarakat Jerowaru, sehingga keturunan sayyid tersebut memiliki hubungan kekeluargaan dengan Tuan Guru Haji Muhammad Mutawalli dari pihak perempuan. Inilah yang menyebabkan tempat tersebut dinamakan keramat (mulia).
Menurut hemat penulis, penamaan Keramat Direk bisa saja memiliki perbedaan penafsiran tergantung perspektif. Keramat Direk yang berarti Keremak Diri dalam tinjauan linguistik atau Keramat Direk dalam tinjauan historis, tetap berorientasi pada satu pemaknaan yaitu mengembangkan potensi-potensi mulia untuk memperbaiki diri dari amoral menjadi moral, dari akhlak yang jelek menuju akhlak yang terpuji, sehingga mendapatkan hidayah dan taufiq dari Allah SWT.
Keramat Direk adalah saksi bisu sejarah perjuangan dakwah TGH. Muhammad Mutawalli yang pertama kali dirintis. Nama dan ketokohan TGH. Muhammad Mutawalli tersebar di kalangan masyarakat, baik masyarakat level bawah (awam) maupun masyarakat level atas (elite), dan aktivitas pengajian khalaqoh TGH. Muhammad Mutawalli di tempat itu terus dipadati dan dibanjiri oleh para santri dan masyarakat sekitar selama periode 1947-1954 M.
- Membuka Lembaga Pendidikan
a. Lembaga Pendidikan Nahdlatul Awam Jerowaru
TGH. Muhammad Mutawalli, dengan segala kepiawaiannya dalam menyampaikan misi syiar Islam di kalangan masyarakat, tidak hanya membentuk Majlis Taklim. Masyarakat menginginkan adanya lembaga pendidikan formal yang dapat menampung para santri yang tidak mampu sekolah ke luar desa, seperti ke Pancor, Kediri, Lomban, Jurang Jaler, dan sebagainya.
Berdasarkan desakan masyarakat sekitar dan semangat keberagamaan mereka, TGH. Muhammad Mutawalli merasa terpanggil untuk mendirikan lembaga formal, sehingga terbentuklah sebuah Madrasah Ibtida'iyyah (MI) yang diberi nama Madrasah Nahdlatul Awam. Madrasah ini didirikan pada tahun 1954 M dan berlokasi di utara masjid Jerowaru yang sekarang.
Lokasi Madrasah Nahdlatul Awam yang berada di tengah-tengah desa sangat strategis untuk dijangkau oleh para santri dari sekitar desa Jerowaru. Sebagian besar santri datang dari dusun-dusun terpencil seperti dusun Pelambik, Kelebuh, Batu Bawi, Orong Bukal, Paek, dan sebagainya. Animo masyarakat untuk menyekolahkan anak-anaknya di Madrasah Nahdlatul Awam dapat dilihat dari banyaknya santri yang terdaftar, yaitu sekitar ratusan siswa. Dengan demikian, segala aktivitas kegiatan belajar mengajar (KBM) sangat tergantung pada aspek-aspek yang berkaitan dengan urusan kependidikan, mulai dari tenaga pengajar, kurikulum, sarana, dan prasarana, yang sangat terbatas di lembaga kecil ini.
Pada awalnya, sarana dan prasarana Madrasah Nahdlatul Awam terdiri dari bangunan sederhana yang hanya dapat menampung beberapa puluh siswa. Namun, dalam waktu yang tidak terlalu lama, bangunan Madrasah Nahdlatul Awam diperbaiki dan diperluas sehingga dapat menampung lebih banyak siswa. Madrasah ini masih dikategorikan sebagai madrasah sederhana dan tradisional.
Kegiatan belajar mengajar di Madrasah Nahdlatul Awam berjalan seadanya karena keterbatasan tenaga pengajar. Pada saat itu, tenaga pengajar hanya terdiri dari empat orang, yaitu Ustadz Badaruddin, Ustadz Karim, Ustadz Suahaimi, dan Ustadz Sayyid Shaleh al-Idrus. Meskipun fasilitas terbatas, para dewan guru tetap menjalankan tugas dan kewajibannya.
Madrasah Nahdlatul Awam di bawah asuhan Tuan Guru Haji Muhammad Mutawalli mengalami pasang surut, sehingga akhirnya terjadi stagnasi pengelolaan dan kemandegan kegiatan belajar mengajar karena masalah ekonomi. Akibatnya, Madrasah Nahdlatul Awam hanya dapat eksis dan bertahan selama empat tahun (1954-1958 M).
b. Ponpes Darul Yatama
Madrasah Nahdlatul Awam merupakan cikal bakal lahirnya Ponpes Darul Yatama yang dirintis oleh Tuan Guru Haji Muhammad Mutawalli sejak tahun 1954 M. Selama periode 1954-1971 M, Ponpes Darul Yatama mengalami dinamika perkembangan yang sangat dinamis. Pada tahun 1954 M hingga 1958 M, Madrasah Ibtidaiyyah Nahdlatul Awam dibentuk dengan segala kesederhanaannya. Meskipun secara kelembagaan madrasah tersebut bubar pada tahun 1958 M, masyarakat tetap berbondong-bondong mengikuti pengajian umum yang disampaikan oleh TGH. Muhammad Mutawalli. Pada tahun 1959 M, masyarakat luar Kabupaten Lombok, seperti dari Kenyalu, Suradadi, Sikur, Janapria, sudah berdatangan untuk mengikuti pengajian di Jerowaru. Bahkan, santri yang mengaji di Majlis Taklim TGH. Muhammad Mutawalli diperkirakan mencapai lima ratus orang.
Pada tahun 1960-an hingga tahun 1967 M, jumlah santri menurun drastis, disebabkan oleh TGH. Muhammad Mutawalli yang mulai mengembangkan dakwahnya ke masyarakat umum di beberapa tempat di seluruh Pulau Lombok, termasuk di tempat-tempat masyarakat Islam Wetu Telu. Ponpes eksis karena bertambahnya guru-guru pembantu yang terdiri dari alumni Ponpes Selaparang Kediri.
Tahun 1965/1966 M adalah tahun yang paling krisis bagi Ponpes ini, di mana pada waktu itu santri tidak lebih dari dua puluh orang. Penyebab utamanya adalah instabilitas kondisi bangsa Indonesia yang diguncangkan oleh peristiwa G/30/S/PKI tahun 1965 M. Kondisi ini menyebabkan masyarakat terganggu segala aktivitasnya, serta masa panca toba (paceklik) yang melanda masyarakat akibat keganasan pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Di samping itu, kesibukan TGH. Muhammad Mutawalli berdakwah ke daerah luar Lombok Timur juga mempengaruhi jalannya pendidikan dan pengajian di Ponpes ini.
Harapan masa depan yang cerah bagi Ponpes ini mulai terlihat dari tahun 1967 M. Pada tahun tersebut, TGH. Muhammad Mutawalli mengajukan rencananya kepada masyarakat umum untuk membangun gedung madrasah permanen di Ponpes Jerowaru. Rencana ini disambut baik oleh masyarakat dan pemerintah daerah, sehingga dalam pelaksanaan pembangunan mendapat dukungan dari masyarakat di berbagai tempat di seluruh pulau Lombok.
Sehubungan dengan rencana pembangunan gedung permanen tersebut, asrama santri yang semula berlokasi di sebelah utara kompleks masjid Jerowaru dipindahkan ke sebelah timur masjid, seiring dengan pembangunan gedung permanen madrasah yang berlokasi tidak jauh dari asrama yang baru dipindahkan. Alasan pemindahan lokasi Ponpes lama ke sebelah timur masjid semata-mata untuk pengembangan dan perluasan area ponpes, yang tidak hanya pada saat itu, tetapi juga agar ponpes dapat dimodifikasi sesuai dengan perkembangan zaman ke depan.
Pada tahun 1968 M, pembangunan gedung madrasah dimulai dengan ukuran 30x8 m, terdiri dari 12 ruangan belajar, 1 ruangan kantor, dan 1 aula. Gedung ini dibangun bertingkat tiga berbentuk bangunan kapal yang diarsitekturkan oleh TGH. Muhammad Mutawalli. Pembangunan gedung Ponpes Darul Yatama terus berjalan lancar tanpa ada halangan dan rintangan yang berat, sehingga pada tahun 1970 M pembangunan gedung baru madrasah Darul Yatama selesai dibangun dengan dana murni dari masyarakat. Gedung madrasah Darul Yatama pada waktu itu bisa dikatakan sebagai bangunan yang cukup megah di Lombok Timur.
Pada tahun 1971 M, setelah berdirinya gedung madrasah Darul Yatama, secara resmi Ponpes dibuka dengan mendirikan sebuah lembaga formal, yaitu Madrasah Tsanawiyah Darul Aitam, Dengan penetapan nama ponpes sebagai Ponpes Darul Yatama, segala hal yang berhubungan dengan kegiatan ponpes dibenahi dan direformulasi mulai dari administrasi keponpesan, kurikulum ponpes, tenaga pengajar, inventarisasi aset ponpes, dan lain sebagainya.
Ponpes Darul Yatama secara resmi dibuka dan diresmikan pada tanggal 6 Maret 1971 M oleh pendirinya langsung. Sejak saat itulah Ponpes mulai eksis kembali di dunia pendidikan formal, di samping pendidikan non-formal. Animo masyarakat untuk memasukkan putra-putri mereka ke Ponpes dari tahun ke tahun terus meningkat, terutama di bawah kepemimpinan putra sulung TGH. Muhammad Mutawalli, yaitu TGH. Muhammad Sibawaihi Mutawalli. Ponpes Darul Yatama mengalami perkembangan yang pesat dengan mengembangkan lembaga-lembaga formal yang lebih tinggi yang disesuaikan dengan perkembangan zaman yang kian modern.
Adapun para pengajar (Asatidz) pada Ponpes Darul Yatama pada periode awal berdirinya terdiri dari murid-murid TGH. Muhammad Mutawalli, antara lain: Jamil Saefuddin, Lalu Nuh, dan H. Kamarudin. Dewan guru tersebutlah yang setia mengajar dan membina para siswa dan santri setiap pagi, siang, dan malam. Mereka juga diberikan wewenang untuk mengelola Ponpes oleh TGH. Muhammad Mutawalli, sementara TGH. Muhammad Mutawalli lebih banyak menghabiskan waktunya untuk berdakwah ke berbagai daerah di Pulau Lombok.
B. Nilai Filosofi Penamaan Darul Yatama
Darul Yatama terdiri dari dua kata, yaitu Dâr dan Al-Yatama. Dâr dan Al-Yatama adalah bahasa Arab yang memiliki makna yang berbeda-beda sesuai dengan konteks kalimatnya:
- Kursi: Tempat duduk, tempat dudukmu ditempati orang.
- Tempat Komunitas/Kelompok Masyarakat: Ayomi dan pergaulilah mereka selama engkau berada di komunitas mereka!
- Rumah: Tempat singgah, tempat tinggal. Apakah rumahmu jauh dari madrasah?
- Negeri Islam: Tanah Air Indonesia.
- Surga: Al-Qur'an, Surga as-Salam.
Maknanya dapat ditinjau dari dua perspektif:
- Perspektif Linguistik: Yatim berarti orang yang ditinggal mati oleh bapaknya. Yatim juga berarti orang yang fakir dan tidak memiliki harta benda.
- Perspektif Filosofis: Yatim artinya orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan dan adab sopan santun. Seperti ungkapan Imam Syafi’i, "Bukanlah yang dikatakan yatim piatu itu orang yang ditinggal mati oleh orang tuanya, tetapi sesungguhnya yang dikategorikan yatim adalah orang yang miskin ilmu dan miskin adab sopan santun."
Berdasarkan dua makna kata "Darul Yatama," dapat dikatakan bahwa Darul Yatama merupakan tempat singgah, tempat komunitas para santri, baik santri yatim yang ditinggal mati oleh orang tuanya, maupun yatim majazi yang haus ilmu pengetahuan agama. Ini juga merupakan rumah tinggal mereka untuk memetik buah dari syurga ilmu pengetahuan dan akhlak mulia yang diperoleh di negeri kedamaian yang disebut dengan Ponpes Darul Yatama.
C. Makna Filosofi Lambang Yayasan Pondok Ponpes Darul Yatama Wal-Masakin
Darul Yatama Wal-Masakin sebagai lembaga yang bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan dakwah Islamiah memiliki ciri khas dan simbol keorganisasian yang membedakannya dengan lembaga lain di bidang yang sama. Prinsip dasar yang diletakkan oleh pendiri lembaga ini, TGH. Muhammad Mutawalli, mengacu pada prinsip bersamaan dengan perbedaan, berbeda dalam kebersamaan yang terkandung dalam simbol. Apa pun yang membedakan satu dengan yang lain tetap memiliki prinsip dan tujuan yang sama, yaitu menuju ridho Allah dengan memberikan kontribusi sebanyak-banyaknya kepada masyarakat, agama, nusa, dan bangsa.
Untuk mengenal lebih lanjut, berikut ini deskripsi filosofis dari lambang Yayasan Darul Yatama Wal-Masakin berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara mendalam dari berbagai informan kompeten, serta pengikut setia, sebagai berikut:
- Kapal Laut: Melambangkan iman yang akan menyelamatkan manusia dari godaan dunia yang menenggelamkan dan menipu daya.
- Tiang Penyanggah Layar Kapal: Melambangkan lima rukun Islam sebagai pondasi agama.
- Layar Terkembang: Melambangkan tawakkal kepada Allah.
- Tali Pengikat Layar: Sebanyak sembilan puluh sembilan untai melambangkan nama-nama Allah yang indah (al-Asma al-Husna).
- Lautan Tempat Berlabuhnya Kapal: Melambangkan dunia sebagai jalan menuju dermaga akhirat.
- Padi dan Kapas: Melambangkan kebahagiaan hidup di dunia.
- Warna Dasar Lambang: Hijau tua melambangkan semangat optimisme menuju kebahagiaan.
Menurut pemahaman penulis dari makna simbolisasi tersebut, dapat dideskripsikan dengan pendekatan tasawuf. Lautan sebagai landasan berlabuhnya kapal laut melambangkan bagaimana kejamnya kehidupan dunia yang penuh cobaan, sebagaimana lautan dalam yang menenggelamkan orang yang tidak memiliki kemampuan untuk berlabuh, berlayar, atau berenang. Kapal laut adalah juru selamat bagi manusia yang tenggelam di lautan yang dalam, ibarat iman dan takwa kepada Allah, dan tujuan akhir yang dituju adalah surga Allah. Hal ini tidak akan terwujud tanpa bimbingan iman dan takwa yang ada pada diri manusia.
Kapal laut tidak akan bisa berlayar dengan cepat tanpa dilengkapi dengan peralatan utama seperti tiang penyanggah layar dan ikatan tali kemali yang menghubungkan alat yang satu dengan yang lain. Ini melambangkan iman yang tidak akan sempurna tanpa adanya topangan tiang agama berupa rukun Islam, serta ucapan-ucapan indah yang mengingat nama-nama Allah dalam segala hal dan tindakan. Tali pengikat adalah zikir kepada Allah, sembari tetap tawakkal kepada Allah, seperti nilai filosofis layar terkembang yang selalu mengikuti arah angin.
Jika kesempurnaan dan penyatuan iman, Islam, dan ihsan ada pada diri manusia, maka pastilah dia akan merasakan kebahagiaan dan kedamaian hidup di dunia maupun di akhirat nanti, seperti yang dilambangkan oleh padi dan kapas. Harus tetap optimis dan penuh harapan ridho dan rahmat Tuhan yang tercurahkan kepada setiap orang yang berlabuh dengan imannya, berlayar dengan tawakkal kepada Allah, berpegang teguh pada tiang agama, dan diakhiri dengan padi dan kapas sebagai simbol kehidupan yang damai dan sejahtera.
0 Komentar